Saturday, January 01, 2005

Sisifus Yang Bahagia

Adakah hukuman yang lebih mengerikan dari pada yang dijalani oleh Sisifus? Yang terus menerus mengangkat batu besar ke puncak gunung, untuk kemudian menyaksikan gaya gravitasi melakukan tugasnya; menjatuhkan batu ke lereng gunung. Tidak berhenti sampai disitu, Sisifus masih harus terus melakukan pekerjaan sia2 dan tanpa harapan yang ditimpakan para dewa padanya itu. Bayangkan sosoknya yang mengkilap oleh keringat. Tangannya menahan bongkahan batu. Sebelah kakinya menahan berat batu itu. Dengan segenap kekuatan yang dimiliki, ia terus mendorong sampai ke puncak. Sesampainya di puncak, batu itu menggelinding ke bawah, meninggalkan Sisifus dalam keputusasaan.

Sisifus mungkin layak menerima hukuman itu. Mungkin tidak. Ia telah merendahkan martabat para dewa. Ia juga telah merantai Dewa Kematian, sampai Pluto mengutus Dewa Perang untuk membebaskan Dewa Kematian dari Sisifus. Sisifus yang hampir mati ingin mengukur derajat kecintaan dan kepatuhan istrinya. Tapi ia melakukannya dengan ceroboh. Ia memerintahkan istrinya untuk membuang jenazahnya ke tengah kota alih-alih menguburkannya. Marah karena kepatuhan istrinya yang paradoksal dengan kasih manusiawi, ia mendapat izin dari Pluto untuk sejenak keluar dari neraka dan menghukum istrinya. Tapi dunia terlalu indah untuk ditinggalkan. Matahari yang hangat, air yang sejuk dan manis tentu membuat siapapun tidak ingin kembali pada kelabu dan kelamnya neraka. Pun Sisifus. Amarah dan murka Pluto tidak dihiraukannya. Panggilan dan peringatan juga dianggap angin lalu oleh Sisifus. Ia kembali hidup di keindahan bumi, merasakan angin laut yang sejuk meniup anak-anak rambutnya setiap hari, selama bertahun2 lagi. Sisifus memberontak sekali lagi.

Tapi para dewa tidak bisa menerima penghinaan ini. Merkurius datang dan menangkap Sisifus. Membuang jauh selimut kebahagiaan yang mendekap Sisifus, mendorongnya masuk dengan paksa. Ke neraka. Ke tempat hukuman batu besarnya telah menunggu. Insting hidup yang dimilikinya beserta nafsu terhadap hidup itu sendiri ditambah penghinaannya pada kematian, membuatnya harus membayar mahal. Sangat mahal. Apa lagi yang lebih menyiksa daripada hukuman buat Sisifus itu? Camus menyatakan; "Itulah harga yang harus ia bayar untuk segala nafsu di bumi ini." Tapi alih-alih merasa kasihan pada Sisifus, Camus mengajak kita melihat Sisifus dari sudut pandang berbeda. Sisifus sebagai bawahan proletar para dewa, tersiksa, sekaligus berada pada puncak kemenangannya. Menghadapi siksaan tak berujung itu, ia tetap berjalan. Mendorong batu besar itu ke puncak gunung, sendirian. Mengerahkan seluruh kekuatannya. Menentang kekuasaan para dewa dengan perenungan dan perjuangan di tiap perjalanan mendaki ke puncak gunung. Bagi Sisifus yang telah mencuri rahasia para Dewa, kita harusnya membayangkan ia berbahagia. Terlalu absurd untuk dibayangkan? Yeah, I know... Dapatkah kita bayangkan para buruh bahagia dengan beban kerja mereka yang berat dan upah yang tak seberapa? Sama absurdnya dengan membayangkan Sisifus bahagia menghadapi hukumannya.

Satu yang mengganjal pikiran saya, mengapa Sisifus tidak mencoba memberontak lagi? Bukankah ia sudah pernah melawan dan berhasil walau kemudian dipaksa menyerah. Mengapa tidak dilemparkannya saja batu itu ke neraka dan menghabisi Pluto sekalian? Bukankah ia sudah pernah membuat Dewa Kematian tidak berdaya. Kenapa Fus? Kenapa?

Site Meter