Wednesday, December 07, 2005

My New Hobby

Meratiin kucing berjemur. Itu adalah salah satu hobi baru saya akhir2 ini. Nggak tau dari mana munculnya, di gang kos an saya akhir2 ini banyak banget kucing berkeliaran.Kucingnya keren2 juga loh, walo cuma kucing kampung. Ada yang warnanya putih semua kecuali buntutnya. Ada yang tiga warna. Waktu saya lagi asik nanem kembang, saya pernah didatengin seekor kucing yang imut. Warnanya coklat, item ama krem. Si kucing ngeliatin saya ngorek2 tanah. Udah gitu dia ngedekt2 ke kaki saya. Maka terjadilah percakapan atar dua makhluk berbeda tapi tak sama ini (?).

Saya (S): Opo cing? Nggak enek panganan de' kene (terj. Apa Cing? Nggak ada makanan di sini)
Kucing (K): Meong... (terj. Nggak apa2 kok. Saya cuma mau deket2 situ ajah...)

S: Jenengmu sopo Cing?
K: Meong... (Lupa Mbak. Dulu dah pernah di kasi nama, tapi karena banyak yg ngganti2 nama saya, jadi saya lupa)

S: Kalo gitu kamu ta' jenengi: Budi Pekerti yo. Panggilanmu: Kerti
K: meong... sambil ngusep2 in badannya ke kaki saya. (Makasih Mbak. Namanya keren)

Ya, itu tadi percakapan saya dengan si Kerti. Keesokan harinya waktu saya mo ke kampus, di jalan saya liat si Kerti dan temen2 nya lagi pada guling2 an. Sepertinya mereka menikmati sekali berjemur di kehangatan mentari pagi en ekspresi mreka tu lucuuuu banget. Coba saya punya kamera, saya poto tu kucing2 imut.

Hehehehe... jadi inget kata temen saya. Gini dia bilang: "Ngeliatin kucing bejemur. Hobbi nya orang kurang kerjaan..."

Weee'!!! Bodo amat. Emang saya lagi kurang kerjaan. Makanya cariin kerjaan dong. Kalo ada lowongan kerja saya mau banget. Apa aja deh asal halal dan menghasilkan duit. (dia pasti komentar: pathatic amat. omongannya orang desperate tuh)

Asal tau aja ya. Saya nggak desperate tuh. Emang lagi kekurangan motipasi sih, tapi nggak desperate. Hiii... syerem amat kalo sampe desperate. Kalo orang putus asa kan bisa mikir yg iya2. Gantung diri? Iya! Minum Bayg** (sensor, soalnya merk obat nyamuk)? Iya! Segala yg bisa mutusin diri dgn tali kehidupan di iyain deh, Jangan sampe deh. Aku berlindung pada Allah dari godaan setan yg terkutuk dan manusia yg dikutuk.....

Friday, December 02, 2005

Pelajaran Tentang Makna Hidup

Amyotropic Lateral Sclerosis (ALS) atau penyakit Lou Gehrig. Sebuah penyakit ganas, tak kenal ampun yang menyerang system saraf. Belum ditemukan obat untuk penyakit ini. Dan ya, penyakit ini mematikan. ALS dapat dipadankan dengan sebatang lilin yang bernyala api membakar sumbunya dan yang tersisa hanya seonggok lilin. Awalnya sering dimulai dari kaki, terus menjalar ke atas. Kita kehilangan kendali atas otot2 paha, sampai tidak mampu berdiri lagi. Kita kehilangan kendali atas otot2 punggung kita, sampai tak mampu duduk tegak lagi. Akhirnya, andaipun masih hidup, kita hanya mampu bernafas lewat sebuah pipa yang ditusukkan ke tenggorokan….. (Mitch Albom: Selasa Bersama Morrie, hal 10).

Guys, apa yang akan kalian lakukan kalau penyakit ini menyerang kalian? Dapatkah kalian bayangkan perasaan tak berdaya akibat kelumpuhan syaraf? Ketika untuk berpindah tempat harus ada seseorang yang membantu. Bahkan untuk membetulkan posisi bantal agar kepalamu bersandar nyaman pun kau butuh bantuan. Dan ketika kau buang air, harus ada yang membantu menceboki, hal paling privasi dalam hidup kita. Bayangkan ketika yang bias kita lakukan tanpa dibantu Cuma bernafas dan menelan. Ketika kita ada dalam situasi seperti ini, kita mungkin akan meratapi nasib. Kita mungkin akan merutuki diri sendiri. Kita bahkan mungkin akan mengutuk Tuhan atas apa yang telah ditimpakan-Nya. Kita mungkin akan tenggelam dalam Lumpur ketidak berdayaan semakin dalam dan membuat keluarga dan orang2 di sekeliling kita jadi korban.

Tapi tidak dengan Morrie Schwartz. Professor tua ini mengambil keputusan yang sangat arif. Keputusan yang dibuatnya begitu kesadarannya pulih sekeluar dari kantor dokter dengan pedang teracung di atas kepala. "Apakah aku akan menyerah dan mati begitu saja, atau akan memanfaatkan sisa waktuku sebaik-baiknya? Tanyanya pada diri sendiri.

Tidak. Ia tidak akan menyerah. Ia tidak akan berkecil hati karena ajal akan segera menjemputnya. Sebaliknya, ia bermaksud menjadikan kematian sebagai proyeknya yang penghabisan, pusat perhatiannya selama hari2 yang masih tersisa. Karena siapapun kelak akan mati, upayanya pasti akan berguna kan? Ia dapat menjadi objek penelitian itu sendiri. Ia akan menjadi buku berwujud manusia. Belajarlah dari lambat dan perlahannya proses kematianku. Perhatikan apa pun yang terjadi padaku… Belajarlah bersamaku (hal 11).

Ya, Morrie ingin tetap berguna. Semua orang yang mengunjunginya diminta untuk berbagi masalah dengannya seperti yang mereka biasa lakukan, karena Morrie tetap seorang pendengar yang baik.

Kasus Morrie mengundang perhatian. Boston Globe menampilkan sebuah artikel panjang berjudul: "Kuliah Terakhir Seorang Profesor: Kematiannya Sendiri". Artikel ini yang membawa Morrie ke sebuah acara TV: Nightline. Ted Koppel, sang pemandu, akhirnya mewawancarai Morrie. Penampilan mereka di TV lah yang membawa Mitch Albom, mantan mahasiswa Morrie, untuk kembali mengunjunginya. Dan kuliah terakhir Morrie pun dimulai. Mereka memilih Selasa,dan setiap Selasa Mitch menghadiri "kuliahnya" yang berjudul "Makna Hidup". Tidak perlu buku, karena bahan2nya digali dari pengalaman. Topik2nya antara lain: cinta, kerja, kemasyarakatan, keluarga, menjadi tua, semangat memaafkan, dan akhirnya kematian.

Buku ini mengungkapkan sedikit kehidupan Morrie kecil. Ibunya meninggal ketika ia berusia delapan tahun. Ayahnya pendiam. Morrie dan David, adiknya, tidak pernah mendapat belaian dan kasih sayang yang mereka perlukan untuk tumbuh. Ibu tiri mereka lah yang memberikannya. Jadi Morrie bertekad, bila ia punya anak sendiri, ia akan membanjiri anak2nya dengan pelukan dan kecupan selamat tidur serta obrolan2 yang diperlukan seorang anak. Dan ia benar2 mewujudkan tekadnya ini.

Bagi Mitch Albom sang penulis buku, Morrie adalah guru sampai akhir hayat. Seorang guru sejati yang melihat seseorang sebagai batu berharga yang belum diolah. Sebuah berlian yang kearifannya dapat digosok sampai berkilau (pernah punya guru seperti ini?). Bagi saya, buku ini menghangatkan, sampai2 di beberapa bagian lelehan air mata tidak sanggup saya tahan.

"Saling mencintai atau punah dari muka bumi" – Morrie Schwartz

Site Meter